Cari Blog Ini

Sword Art Online Aincrad Chapter 24


Udara disini adalah campuan berbagai macam bau.
Fakta bahwa aku masih hidup mengagetkanku.
Udara yang mengalir kedalam hidungku membawa seabrek info. Yang pertama datang adalah bau menyengat disinfektan. Lalu datang bau dari pakaian yang dijemur di matahari, aroma manis buah-buahan, dan bau tubuhku sendiri.
Perlahan-lahan aku membuka mataku. Untuk sekejap, rasanya dia sinar putih nan kuat menusuk dalam-dalam kedalam pikiranku, jadi dengan cepat aku memejamkan lagi mataku.
Beberapa saat kemudian, dengan enggan, aku mencoba membuka mataku. Segelombang cahaya-cahaya menari-nari di pupilku. Baru beberapa saat kemudian aku sadar ada banjir cairan yang menutupi mataku. Aku mengejapkan mata untuk menghilangkannya. Tapi cairan itu terus keluar. Ternyata mereka adalah airmata.
Aku tengah menangis. Mengapa? Ada perasaan nyeri yang dalam serta ganas, ditambah rasa kehilangan dalam hatiku. Suara-suara terus bergema dalam telingaku, seakan seseorang tengah memanggil-manggil namaku.
Aku menyipitkan mataku melawan cahaya nan kuat itu dan akhirnya berhasil menghilangkan airmataku.
Rasanya aku tengah berbaring di benda yang lembut.Aku dapat melihat sesuatu yang sama dengan papan-papan langit-langit di atasku. Ada beberapa panel halus yang diwarnai coklat muda, beberapa diantaranya berkilau lembut seakan ada cahaya di belakang mereka. Dari ujung pandanganku, aku bisa melihat sekotak ventilasi logam dimana udara dihembuskan keluar dengan suara rendah.
Sekotak AC...dengan kata lain, sebuah mesin. Bagaimana sesuatu seperti itu bisa ada disini? Tiada tukang besi yang dapat membuat sebuah mesin tak peduli setinggi apapun status jurus mereka. Jika apa yang kulihat benar-benar adalah sebuah mesin---maka tempat ini bukan---
Ini bukan Aincrad.
Aku membuka mataku lebar-lebar. Pikiranku sepenuhnya terbangun hanya dari selintas pikiran itu. Aku buru-buru membangkitkan tubuhku---
tapi tubuhku tak mau mendengarkanku sama sekali. Aku tak bisa menggunakan kekuatan apapun. Meski bahu kananku terangkat beberapa sentimeter, ia langsung kembali jatuh.
Hanya tangan kananku yang bisa digerakkan. Aku mengangkatnya ke atas tubuhku lalu membawanya ke hadapan mataku. Untuk sesaat Aku tak bisa percaya lengan kurus kering ini adalah punyaku. Tak mungkin aku bisa memegang sebilah pedang dengan lengan ini. saat aku memeriksa kulit putih nan sakit lebih dekat, aku dapat melihat ribuan helai bulu yang menyelimutinya. Aku bisa melihat vena biru di bawah kulit dan kerutan-kerutan di sendi-sendi. Semuanya terasa begitu menakutkan; Ini begitu nyata, begitu biologis sehingga terasa tak biasa.
Di dalam pergelanganku, ada sehelai selotip yang memegang jarum tetap di tempatnya, dimana jarum tersebut terhubung dengan selang panjang bagaikan digunakan untuk mengyuntikkan sesuatu. Mataku mengikuti selang tersebut dan tertumbuk pada kemasan bening yang digantungkan oleh sebatang tiang perak. Isi kemasan tersebut masih 2/3-nya dengan cairan jingga, yang menetes dengan kecepatan tetap.
Aku menggerakkan tangan kiriku dan mencoba merasakan lagi indra sentuhku. Sepertinya aku telanjang bulat dan berbaring di atas kasur yang terbuat dari material gel yang sangat padat. karena suhunya sedikit lebih rendah dari tubuhku, aku bisa merasakan dinginnya perlahan mengalir padaku. Tiba-tiba, sebuah ingatan menyembul dalam pikiranku; Aku pernah sekali melihat siaran berita dimana jenis kasur ini dikembangkan untuk pasien-pasien yang tak bisa bergerak. Ia memiliki kemampuan mencegah infeksi pada kulit dan mengurai bungan tubuh yang keluar.
Aku menerawangi sekelilingku. Ini kamar yang kecil. Temboknya sama putih tawarnya dengan langit-langit. Ada Jendela yang teramat sangat besar di kananku dengan sprei putih dibentang menghalanginya.
Aku tak bisa melihat pemandangan di luar, tapi aku dapat melihat sinar kuning matahari menyinari lurus menembus serat-seratnya, Sebuah troli beroda logam empat diparkir di kiri jauh kasur jel ini, dan sebuah keranjang rotan diletakkan diatasnya.
Sebuah buket bunga-bunga yang terlihat tawar berada di dalamnya, yang sepertinya merupakan sumber dari aroma manis ini. Lebih jauh lagi dari troli adalah sebuah pintu persegi panjang yang tertutup,
Berdasarkan semua info ini, Tempat ini seharusnya adalah ruang perawatan RS, dan aku satu-satunya yang berada disini.
Aku mengembalikan pandanganku pada tangan kananku yang terangkat dan tiba-tiba memikirkan sesuatu. Aku mengayunkan tangan kanan dengan telunjuk dan jempol saling menekan.
Tak terjadi apa-apa. Tiada efek suara maupun selayar menu. Aku mengayunkan lagi dengan sedikit lebih keras, lalu lagi dan lagi. Hasilnya selalu sama.
Jadi, ini benar-benar bukan SAO. Lalu apakah ini kenyataan virtual lainnya?
Tapi info yang membanjiri dari kelima indraku sudah berteriak padaku bahwa ada kemungkinan lain. Ini---adalah dunia nyata. Ini adalah dunia nyata yang kutinggalkan dua tahun lalu dan tak pernah kuharapkan untuk kulihat lagi.
Dunia nyata---Cukup lama aku merenungkan arti dibalik kata-kata sederhana ini. Untukku, dunia pedang dan pertempuran telah menjadi satu-satunya dunia nyataku untuk waktu yang lama. Aku masih tak bisa mempercayai bahwa dunia lain sudah tak lagi disana, bahwa aku sudah tak berada di dunia itu lagi.
Lalu, Apakah aku telah kembali? ---Bahkan meski aku memikirkan itu, aku tak benar-benar senang atau apapun. Yang kurasakan hanyalah sedikit kebingungan dan rasa kehilangan.
apakah ini hadiah yang Kayaba bilang untuk menyelesaikan permainan? Aku telah jelas-jelas tewas dalam dunia itu dan tubuhku telah sepenuhnya dihapus. Aku telah menerima itu, Aku bahkan merasa puas denagn itu.
Ya—tak apa-apa bila aku menghilang saja seperti itu. Di cahaya nan terang tersebut, larut, terpencar, lalu meleleh bersama dengan bagian dunia lainnya, bersama dengannya---
“Ah...”
Secara tak sadar aku bersuara. Sebuah nyeri kuat menembus tenggorakan yang tak digunakan selama dua tahun. Tapi aku tak memedulikan itu sedikitpun. Aku membuka mataku lebar-lebar dan mengatakan satu kata saja, sebaris nama yang muncul di pikiranku.
“A…su…na…”
Asuna. Nyeri yang dirasakan hatiku bergejolak lagi. Asuna, istriku yang tercinta, yang menonton akhir dunia bersama denganku...
Apakah itu semua hanya mimpi...? Sebuah khayalan indah yang kulihat di dunia virtual...? Pikiran-pikiran yang memusingkan tiba-tiba muncul di kepalaku.
Tidak, dia benar-benar ada. Tak mungkin seluruh hari yang kita habiskan untuk tertawa, menangis dan tidur bersama hanya sebuah mimpi.
Kayaba telah mengatakan---“Selamat karena telah menyelsaikan permainan, Kirito-kun, Asuna-kun.” Dia jelas-jelas mengatakan itu. Jika dia telah memasukkanku kedalam daftar yang selamat, maka Asuna seharusnya juga kembali ke dunia ini.
Begitu aku terpikirkan soal ini, Cinta dan rinduku padanya tumpah deras dan menjalari diriku. Aku ingin menemuinya. Aku ingin menyentuh rambutnya. Aku ingin menciumnya. Aku ingin mendengar suaranya yang memanggil namaku.
Aku menegangkan seluruh otot di tubuhku dan mencoba bangkit. Hanya setelah aku menyadari bahwa kepalaku terikat. Aku mencari-cari dengan jemariku sebelum menemukan kunci sabuk di bawah daguku dan membukanya. Ada sesuatu yang berat di kepalaku. Aku menggunakan kedua tangan dan hampir saja tak bisa melepasnya.
Aku duduk lalu memandangi benda di tanganku. ia sebuah helm biru tua nan halus. Seutas kabel dengan warna sama menyembul keluar dari pelat panjang di bagian belakangnya dan terus memanjang hingga ke lantai. Itu adalah---
NERvGear. Aku telah terjebak dalam dunia itu selama dua tahun karenanya. Kekuatannya telah dimatikan. Ingatan terakhirku tentangnya adalah bahwa ia adalah helm bersinar, tapi kini warnanya telah pudar. Beberapa telah terkelupas sehingga kau bisa melihat aloi logam yang menjadi bahannya.
Seluruh ingatan dari dunia lain dipegang didalamnya---Aku tiba-tiba dicengkram oleh pikiran ini dan mengelus-elus permukaannya.
Aku berfikir bahwa aku takkan pernah memakainya lagi. Tapi ia menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya...
Aku menggumamkan ini dalam kepalaku sebelum menaruh helm diatas kasur. Hari-hari dimana aku bertarung bersamanya sudah merupakan masa lalu. Ada sesuatu yang lain yang perlu aku lakukan sekarang.
Aku tiba-tiba menyadari suara-suara di luar. Saat aku memfokuskan telingaku, aku dapat mendengar berbagai suara, seakan mereka bilang padaku bahwa pendengaranku sudah kembali seperti semula.
Aku jelas-jelas mendengar suara-suara orang yang berbicara dan berteriak. Aju mendengar suara-suara langkah kaki yang terburu-buru dan roda-roda kasur yang dipindahkan.
Tiada cara untuk mengetahui apakah Asuna ada dalam RS ini. pemain-pemain SAO datang dari seluruh penjuru Jepang, jadi kecil kemungkinan dia disini. Tapi aku akan memulai pencarianku dari sini. Tak peduli seberapa lama waktunya, aku pasti akan menemukannya.
Aku menyingkap selimutku. Ada sejumlah kabel yang tersebar di tubuhku yang lemah. Mungkin mereka adalah elektroda yang ditaruh untuk melambatkan degenerasi otot-ototku. Aku berhasil menarik keluar semuanya. Seberkas LED jingga berkedip di panel yang terletak di ujung kasurku dan segema alarm nyaring menyala, tapi aku mengabaikan semua ini.
Aku menarik jarum tetes IV keluar dan akhirnya membebaskan tubuhku. Lalu aku menempatkan kakiku di lantai dan perlahan menguatkan diri sebagai usaha untuk bangkit berdiri. Tubuhku terangkat sedikit demi sedikit, tapi rasanya lututku bakal habis di menit berapapun dan ini membuatku tersenyum pahit; Status kekuatan manusia superku tak ada dimanapun untuk ditemukan.
Aku mencengkram tiang IV tetes sebagai penahan dan akhirnya berhasil berdiri. Saat memandangi sekeliling ruangan, aku menemukan gaun RS yang terlipat di baki yang sama dengan keranjang bunga-bunga lalu aku mengenakannya.
Setelah menyelesaikan gerakan-gerakan sederhana ini, nafasku udah terengah-engah. Otot-otot yang tak kugunakan selama dua tahun sudah memprotes dengan nyerinya. Tapi aku tak bisa dengan begitu mudah mengeluh.
Cepatlah, cepatlah. Aku dapat mendengar senada suara yang membujukku untuk terus maju. Sekujur jiwaku merindukannya. Pertarunganku belum usai hingga aku mendapat Asuna---Yuuki Asuna dalam pelukanku.
Dengan cengkraman erat di tiang, bukan di pedang, aku menyenderkan tubuhku padanya dan mengambil langkah pertamaku menuju pintu.

Sword Art Online Aincrad Chapter 23


Lalu saat aku sadar kembali, aku menemukan diriku di dunia yang sama sekali berbeda.
Disini, terbenamnya matahari membuat seluruh langit tampak terbakar.
Aku berdiri di lantai kristal yang tebal. Awan-awan jingga berlalu perlahan di bawah keramik yang transparan. Saat aku menengadahkan kepala, dapat kulihat sebentang langit yang dicelup matahari terbenam membentang sampai horizon. Seakan dibentangkan keluar, langit tak berujung memudar dari jingga terang, menjadi merah darah, lalu bayangan ungu . Aku juga bisa sayup-sayup mendengar angin yang bertiup.
Itu adalah cakram kristal kecil yang melayang diantara awan-awan di langit yang hampa; Disini aku berdiri di tepinya.
...Apa tempat ini? Tubuhku seharusnya menghilang setelah pecah berkeping-keping. Apakah aku masih di SAO...ataukah aku sudah tiba di kehidupan setelahnya?
Aku memeriksa tubuhku. Jaket bulu, sarung tangan panjang, dan seluruh perlengkapanku yang lainnya sama seperti sebelum aku tewas, kecuali semuanya menjadi agak-agak transparan. Dan bukan hanya perlengkapanku saja, bahkan bagian tubuhku yang terbuka pun disinari warna matahari terbenam seakan ia dibuat dari gelas semi tranparan.
Aku mengangkat tangan kananku dan mengayunkan satu jariku. Sebuah jendela muncul dengan efek suara yang biasanya. Oh, tempat ini masih dalam SAO.
Tapi jendela itu tak mengandung avatar maupun daftar menu. Sebuah layar kosong hanya menunjukkan pesan [Menyelesaikan Fasa Akhir, 54% Beres]. Saat aku tengah memandanginya, angka itu naik menjadi 55%. Awalnya kupikir pikiranku akan mati bersama dengan hancurnya tubuhku, tapi apa yang tengah terjadi disini?
Saat aku mengangkat bahu dan menutup jendela, tiba-tiba aku mendengar seberkas suara dibelakangku.
“Kirito...”
Ia bagaikan suara dari surga. Kejut menjalari tubuhku,
Kumohon, jangan jadikan ini hanya bayanganku saja—Aku memohon sambil berbalik perlahan.
Dia berdiri disana dengan langit terbakar di belakangnya.
Rambut panjangnya melambai lembut dalam angin. Tapi meski wajah senyum nan lembutnya dalam jangkauan lenganku, aku tak bisa bergerak sedikitpun.
Rasanya seakan dia akan menghilang bila pandanganku meninggalkannya bahkan untuk sedetik---Jadi aku terus menatapnya dalam sunyi. Dia juga semi-transparan, dan merupakan hal terindah di dunia. Dia berdiri di sana, berkilau dalam cahaya dari matahari yang terbenam.
Aku memaksakan diri menahan airmata dan berhasil membentuk segaris senyum. Dengan suara hampir berbisik, aku berkata: “Maaf, aku juga tewas...”
“...Dasar tolol.”
Airmata mengaliri wajahnya saat dia mengatakan ini dengan senyum. Aku membentangkan lengaku lebar-lebar dan dengan lembut memanggil namanya:
“Asuna...”
Aku memegangnya erat begitu dia meloncat kedalam lenganku dan menangis. Aku bersumpah aku takkan melepaskannya lagi. Tak peduli apapun yang terjadi, aku takkan pernah melepaskannya lagi.
Setelah ciuman yang panjang, akhirnya kami bisa memisahkan wajah kami untuk saling memandang. Ada begitu banyak hal tentang pertarungan akhir yang ingin kuceritakan padanya, bahwa aku ingin meminta maaf padanya. Tapi aku merasa kata-kata tak diperlukan lagi. Malah, aku menggeser pandanganku pada langit tak berbatas dan membuka mulutku:
“Ini...Apa-apaan tempat ini?”
Asuna mengarahkan pandangannya kebawah dalam sunyi dan menunjuk dengan jarinya. Aku melihat ke arah itu.
Jauh di bawah tempat kami berada---Sesuatu melayang di langit. Ia berbentuk seperti kerucut dengan ujung terpotong. Ia terbuat dari berbagai lantai yang saling melewat. Begitu aku memusatkan mataku, aku bahkan bisa melihat gunung-gunung kecil, hutan-hutan, danau-danau, dan kota-kota.
“Aincrad...”
Asuna mengangguk begitu aku menggumamkan ini. Tak salah lagi. Itu Aincrad. Benteng raksasa terbang yang melayari langit tak berbatas. Kami habiskan 2 tahun, bertarung dalam dunia pedang dan pertempuran itu, namun kini ia berada di bawah kami.
Aku telah melihat pemandangan di luar Aincrad sebelum aku datang ke dunia ini dalam info tentang SAO. Tapi ini kali ini pertama aku melihatnya di luar dengan mataku sendiri. Kutahan napasku begitu sebuah perasaan tak tergambarkan menyergapku.
Benteng besi itu---tengah diruntuhkan,
bahkan ketika kami menonton dalam sunyi, satu bagian dari lantai terbawah tersebar menjadi kepingan yang tak terhitung. Begitu aku memusatkan telingaku untuk mendengarkan, aku masih bisa mendengar suara gemuruh yang menyebar diantara angin.
“Ah....”
Asuna menjerit pelan. Sebagian besar dari lantai bawah terpotong, dan banyak bangunan, pohon dan sungai yang tak terhitung jumlahnya jatuh ke bawah dan menghilang kedalam lautan awan. Rumah kami ada di sekitar daerah itu. Aku merasakan kepingan kesedihan manis-asam mengiris dadaku tiap kali ada lantai benteng yang berisi ingatan seharga dua tahun menghilang.
Aku bertekuk, duduk di ujung lantai dengan Asuna dalam pelukanku.
Aku merasah tenang yang aneh. Meski aku tak tahu apa yang terjadi pada kami atau apa yang akan terjadi sekarang, aku tak merasakan sedikitpun ketegangan. Aku telah menyelesaikan apa yang harus kulakukan, dan untuk itu aku telah kehilangan hidup virtualku dan kini tengah menyaksikan akhir dunia ini dengan gadis yang kucintai. Ini sudah cukup---Hatiku sudah puas.
Asuna pasti merasakan hal yang sama. dalam pelukanku, dia menyaksikan Aincrad runtuh dengan mata setengah terbuka. Dengan lembut, aku mengelus rambutnya.
“Pemandangan yang luar biasa.”
Tiba-tiba aku bisa mendengar seberkas suara dibelakang kami. Saat kami berputar ke kanan, kami melihat seorang lelaki berdiri disana.
Dia Kayaba Akihiko.
Dia muncul bukan sebagai Heathcliff, si paladin merah, tapi dalam wujud dia sebenarnya sebagai pengembang SAO. Dia mengenakan kemeja putih dengan dasi dan tutupan putih di bagian atas. Hanya dua mata logam di wajah tajamnya terasa persis sama. Tapi kedua mata itu berisi cahaya lembut saat memandangi benteng yang menghilang. Tubuhnya juga semi-transparan seperti kami.
Meski kami telah bertarung hingga tewas dengan orang ini hanya beberapa menit sebelumnya, ketenanganku terus bertahan setelah menitnya, Mungkin kami telah meninggalkan seluruh rasa marah dan benci kami di Aincrad sebelum kami datang kesini. Aku memandangi Kayaba dan Benteng bergantian.
“Apa sih yang terjadi sebenarnya?”
“Mungkin kau bisa menyebutnya...perenderan metaforis.”
Suara Kayaba juga agak damai.
“Kini kerangka utama SAO yang berada di lantai basemen kelima dari Markas Argas tengah menghapus seluruh data dari bank ingatannya. Dalam 10 menit berikutnya, dunia ini akan sepenuhnya terhapus.”
“Bagaimana dengan orang-orang yang hidup disana...Apa yang terjadi pada mereka?”
Asuna tiba-tiba bertanya.
Tak perlu khawatir. beberapa saat sebelumnya---“
Kayaba menggerakkan tangan kanannya dan melirik jendela yang muncul,
“seluruh 6.147 pemain yang tersisa telah berhasil keluar.”
Ini berarti Cline, Egil, dan seluruh orang lainnya yang aku kenal selama dua tahun ini telah berhasil kembali dengan selamat ke sisi lain.
Dengan erat, kupejamkan mataku dan membiarkan air mataku mengalir sebelum bertanya:
“...Bagaimana dengan mereka yang mati? Kita berdua sudah tewas, namun kami terus ada disini. Bukankah itu berarti kau bisa mengembalikan 4.000 yang tewas ke dunia asal mereka juga?”
Wajah Kayaba tak berubah. Dia menutup jendela, memasukkan tangannya ke saku, lalu berkata:
“Nyawa tak bisa disembuhkan dengan begitu mudah. Kesadaran mereka takkan pernah kembali. Yang mati akan menghilang---Fakta ini terus benar di dunia manapun. Aku menciptakan tempat ini hanya karena aku ingin ngobrol dengan kalian berdua—untuk satu kali terakhir.”
Apa itu sesuatu yang bisa dikatakan seseorang yang telah membunuh 4.000 orang?
Meski aku berpikir begitu, aku tak merasakan amarah apapun untuk beberapa alasan yang aneh. Malah, satu pertanyaan lainnnya menyembul di pikiranku. Ini pertanyaan dasar yang seluruh pemain, tidak, seluruh orang yang mengetahui perkara ini akan tanyakan.
“mengapa---kau lakukan ini...?”
Aku bisa merasakan Kayaba tersenyum pahit. Setelah keheningan panjang, akhirnya di berbicara:
“Mengapa---Aku sudah lama lupa akan itu . Mengapa sih aku melakukannya? Sejak aku menemukan bahwa sebuah sistem dive sempurna tengah diciptakan---tidak, bahkan sebelumnya, aku telah ingin membangun benteng itu, sebuah tempat yang melabrak batas-batas yang dipasang di dunia nyata. Lalu, dalam saat-saat terakhir itu...Aku melihat bahkan aturan-aturan duniaku juag telah dilewati...”
Kayaba pertama-tama memutar mata damainya padaku, lalu langsung menggeser mereka ke tempat yang jauh.
Tutupan Kayaba dan rambut Asuna berkibar oleh angin yang semakin kuat. Setegah benteng sudah hancur. Algade, sebidang kota yang dipenuh kenanganku, tengah disebarkan kedalam angin dan diserap oleh awan-awan.
Kayaba melanjutkan bicaranya:
“Bukankah kita semua punya banyak mimpi sejak masa kanak-kanak? Aku sudah lupa berapa usiaku saat bayangan sebuah benteng logam yang melayang di langit mulai memesonaku....itu adalah pemandangan yang takkan pudar dari pikiranku tak peduli seberapa lama waktu berlalu. Begitu aku makin dewasa, gambar itu menjadis emakin dan semakin nyata, lebih dan lebih menyeruak. Meninggalkan dunia nyata dan terbang langsung ke Benteng ini...itu adalah mimpiku satu-satunya dalam waktu lama. Kirito-kun, Kau tahu, aku masih percaya,---bahwa di entah dunia mana, benteng ini benar-benar ada---.”
Tiba-tiba, aku merasa seakan aku telah dilahirkan di dunia itu, dimana aku bermimpi menjadi seorang ksatria berpedang. Pada suatu hari, Sang lelaki akan bertemu seorang gadis dengan mata coklat hazelnut. Keduanya akan jatuh cinta, akhirnya menikah, dan akan hidup bahagia selamanya dalam sebuah rumah kecil di tengah-tengah seladang hutan---
“Ya...itu pasti bagus sekali.”
Gumamku. Asuna juga mengangguk dalam pelukanku.
Kesunyian kembala menyapa kami. Aku membuang pandanganku pada kejauhan dan melihat bahwa bagian lain dari benteng mulai runtuh. Aku dapat melihat lautan awan tak berbatas dan langit merah yang tengah dimakan sebuah cahaya putih di kejauhan. erosi sudah dimulai di semua arah dan perlahan-lahan menuju kesini.
“Ah, aku lupa mengatakan ini, Kirito-kun, Asuna-kun...Selamat karena telah menyelesaikan permainannya.”
Kami menengadah pada Kayaba saat dia mengatakan ini. Dia menunduk, melihat kami dengan ekspresi tenang di wajahnya.
“Baiklah---Aku harus pergi sekarang.”
Angin berhembus dan tampak menyapu jauh sosoknya---begitu kami sadar, dia tak lagi berada dalam pandangan kami. Hanya tampak matahari merah yang terbenam yang terus menyinari menembus pelat kristal. Sekali lagi, Kami sendirian.
Aku menduga-duga kemana dia pergi? Apakah dia kembali ke dunia nyata?
Tidak---dia takkan begitu. Dia akan menghapus pikirannya sendiri dan pergi untuk mencari Aincrad yang sebenarnya entah di dunia mana.
Sekarang, hanya bagian atas dari benteng yang tersisa. lantai 76 yang tak pernah sempat kami lihat mulai runtuh. Tirai cahaya yang menghapus dunia ini perlahan mencapai kami. Begitu aura yang bergelombang menyentuh awan-awan dan langit, mereka menghilang dan kembali pada ketiadaan.
Aku dapat melihat istana merah dan puncak-puncaknya di lantai tertinggi Aincrad. Jika permainan berlanjut sebagaimana yang direncanakan, kami akan bertarung disana melawan raja terakhir, Heathcliff. Bahkan meski dasar-dasar lantai teratas menghilang, istana tak bertuan terus melayang di udara seakan hendak melawan takdirnya. Istana merah yang tersisa di tengah-tengah langit jingga sepertinya merupakan hati dari benteng melayang tersebut.
Pada akhirnya, kehancuran juga menelan istanamerah. Ia dibelah-belah, dimulai dari bawah dan naik ke atas, lalu pecah kedalam kepingan-kepingan tak terhitung sebelum menghilang diantara awan-awan. Menara tertinggi menghilang hampir di waktu yang bersamaan dengan saat tirai cahaya menelan sekelilingnya. Benteng raksasa Aincrad telah sepenuhnya dihancurkan, dan yang tersisa di dunia ini hanyalah beberapa awan dan landasan kecil dimana aku dan Asuna duduk.
Kemungkinan kami tak punya banyak waktu tersisa. Kami menggunakan rentang waktu pendek yang diberikan Kayaba pada kami. Dengan hancurnya dunia ini, NERvGear akan melaksanakan fungsi terakhirnya dan menghapus apa yang tersisa dari kami.
Aku menempatkan tanganku pada pipi Asuna dan perlahan menekankan bibirku pada miliknya. Ini adalah ciuman terakhir kami. Aku hendak menggunakan tiap detik-detik terakhir dan mengukir sosoknya pada jiwaku,
“Sepertinya ini adalah selamat tinggal...”
Asuna menggelengkan kepalanya.
“Tidak, ini bukan. Kita akan menghilang bersama-sama. jadi, kita akan bersama selamanya.”
Dia berbisik dengan suara yang jelas sebelum berputar dalam pelukanku untuk menatap lurus padaku. lalu dia membengkokkan kepalanya sedikit dan tersenyum
“Hei, bisakah kau mengatakan namamu padaku, Kirito? Nama aslimu?”
Pertama-tama aku tak mengerti. tapi aku lalu sadar maksud dia adalah namaku di dunia lain yang kutinggalkan 2 tahun lalu.
Rasanya seakan hari-hari dimana aku hidup dengan nama dan hidup lain adalah dongeng dari dunia yang teramat jauh. AKu mengatakan namaku yang mengambang dari dasar ingatanku, entah mengapa terasa sangat emosional.
“Kirigaya...Kirigaya Kazuto. Seharusnya aku berumur 16 bulan lalu.”
Pada saat itu, aku merasa waktu mulai bergerak untuk diriku yang lain. Pikiran Kazuto, yang telah terkubur dalam-dalam pada diri Kirito sang ksatria berpedang, mulai muncul perlahan. Aku merasakan pelindung keras yang melingkupi diriku dalam dunia ini berjatuhan satu demi satu.
“Kirigaya…Kazuto….”
Asuna menyuarakan namaku, memusatkan diri pada tiap suku kata, lalu tertawa dengan wajah yang sedikit kaget.
“Jadi kamu lebih muda dariku. AKu...Yuuki....Asuna. Berumur 17 tahun ini.”
Yuuki… Asuna. Yuuki Asuna. Aku terus mengulang-ulang kelima suku kata ini dalam pikiranku. Tiba-tiba, aku menyadari airmataku telah mengaliri pipiku.
Perasaanku akhirnya mulai bergeser di tengah terbenamnya matahari yang terus berjalan. Sebuah rasa nyeri menjalari sekujur diriku, air mata mengalir bebas menuruni pipi. Aku merasakan segumpal sumbatan di tenggorokanku, Mengepalkan kedua tangan, lalu mulai menangis keras bagaikan seorang anak kecil.
“Maafkan aku...maaf...Aku berjanji...untuk mengirimkanmu....kembali...ke sisi lainnya...tapi aku...”
Aku tak dapat melanjutkannya. Pada akhirnya, aku tak bisa menyelamatkan orang yang paling berharga bagiku. Karena kelemahanku sendiri, Jalannya yang pernah begitu cerah dan berkeilauan kini tertutup. Penyesalanku terbentuk menjadi air mataku yang mengalir tanpa akhir dari mataku.
“Tak apa-apa... Tak apa-apa...”
Asuna juga menangis. Air matanya yang berkilau mengalir tanpa akhir bagaikan permata-permata kecil sebelum menguap.
“Aku benar-benar bahagia. Waktu aku bertemu Kazuto, dan hidup bersama, adalah waktu yang paling menyenangkan dari seluruh hidupku. Terima kasih...dan aku mencintaimu...”
Akhir dunia tepat berada di hadapan kami. Seluruh Benteng besi dan lautan awan tak berbatas dihapus oleh cahaya nan terang itu, meninggalkan hanya kami berdua di belakang.
Aku dan Asuna saling berpelukan dengan erat, menunggu-nunggu saat-saat terakhir.
Rasanya seakan perasaan kami dimurnikan oleh cahaya itu. Yang tersisa dalam diriku hanyalah cintaku untuk Asuna. Aku terus memanggil namanya seakan semuanya tengah diurai dan dipencarkan.
Cahaya memenuhi pandanganku. Semuanya dilingkupi oleh tirai putih murni dan menghilang setelah menjadi partikel-partikel cahaya nan mungil. Senyum Asuna bercampur dalam cahaya yang sangat kuat penelan dunia ini.
---Aku mencintaimu...Aku mencintaimu---
Suaranya bergema bagaikan dentang manis sebutir lonceng saat kesadaran terakhirku musnah. Garis terakhir yang memisahkan kami menghilang dan kami menjadi satu.
Jiwa kami saling menyerap, bergabung, lalu berpencar.
Akhirnya, kami berpisah.

Sword Art Online Aincrad Chapter 22


Pertarungan berlanjut selama sejam
Rasanya bagai selamanya telah berlalu sebelum pertarungan akhirnya selesai. Saat tubuh raksasa monster raja pecah menjadi serpihan yang tak terhitung, tiada satupun yang memiliki energi untuk bergembira. Semuanya entah terduduk lemas di lantai obsidian atau terbaring sempurna dengan napas terengah-engah.
Apa ini---selesai...?
Ya---ini selesai---
Setelah kami bertukar pikiran itu, rasanya «sambungan» antara aku dan Asuna juga putus. Kelelahan tiba-tiba menggelayuti tubuhku dan aku berlutut ke lantai. Aku dan Asuna lalu duduk dengan denganpunggung saling bersender, dan merasa seakan kami takkan mampu melakukan apa-apa untuk beberapa saat. Kami berdua masih hidup---tapi bahkan ketika aku memikirkan ini, aku tak bisa begitu senang dengan keadaan. Terlalu banyak yang tewas. Setelah 3 kematian pertama di awal pertempuran, efek suara suram dari pecahnya orang terus bergema dengan kecepatan tetap dan aku memaksa diriku berhenti menghitung setelah yang keenam.
“Berapa banyak ---yang tewas...?
Cline, yang duduk di kiriku, bertanya dengan suara berdenging. Egil yang terlentang di lantai di sebelahnya dengan lengan dan kaki tersebar keluar, juga menghadap kesini.
Aku mengayunkan tangan kananku untuk membuka peta dan lalu menghitung titik-titik hijau di sana. Aku menguranginya dengan jumlah orang yang hadir saat kami pertamakali berangkat.
“---14 tewas.”
Aku tak dapat mempercayai angka ini meski aku telah menghitungnya sendiri.
Mereka semua tingkat tinggi, ksatria ahli yang telah mengalami pertempuran yang tak terhitung. Bahkan jika kami tak bisa kabur atau sembuh seketika, kami seharusnya masih bisa menghindari tewasnya begitu banyak orang jika kami bertarung dengan menempatkan keselamatan terlebih dahulu—itulah yang kami semua pikir, tapi---
“...Mustahil...”
Suara Egil tak menandakan keceriaannnya yang biasa. Sebuah kesuraman yang menjatuhkan jiwa menekan tengkuk orang-orang yang selamat.
Kami hanya tiga perempat kesana---masih ada 25 lantai yang masih harus dibereskan. Tapi meski ada ribuan pemain disini, hanya beberapa ratus yang masih serius untuk menyelesaikan permainan. Jika tiap lantai menghasilkan korban sebanyak yang ini, maka sangat mungkin---hanya satu orang yang akan menghadapi raja terakhir.
Jika itu yang terjadi, yang terakhir berdiri mungkin adalah orang itu...
Aku menggeser pandanganku lebih jauh kedalam ruangan. Diantara semua orang yang duduk di lantai, sebuah sosok berbaju merah terus berdiri tegak. Orang itu adalah Heathcliff.
Tentu saja dia tidak tak tersayat. Saat aku memusatkan diri padanya, kursor muncul untuk menunjukkan HP-nya, dan aku dapat mengatakan dia telah kena beberapa hantaman. Dia telah menahan sabit tulang itu, yang aku dan Asuna harus bersusah payah menahannya, sendirian hingga saat terakhir. Takkan aneh bila dia runtuh karena kecapaian, terlepas dari HP-nya.
Tapi aku tak bisa merasakan tanda-tanda kecapean sedikitpun dari sosok tenangnya. Ini ketahanan yang sulit dipercaya. Ini seakan---dia sebentuk mesin bertarung...
karena pikirnku masih layeng-leyang karena kecapean, aku terus menatap sisi dari wajah Heathcliff. ekspresi sang legenda tetap tenang. Dia dengan hening memandangi pada anggota-anggota KoB dan pemain-pemain lainnya. Matanya hangat dan penuh kasih sayang---seakan—
Seakan dia tengah memandangi segerombolan mencit putih yang bermain di kandang yang mustahil keluar darinya.
Tepat saat itu, kurasakan sebuah getaran merambat ke sekujur tubuhku.
Pikiranku jernih seketika. tubuhku menjadi dingin, mulai dari ujung jemari, menyebar ke segala arah hingga pusat otakku. Ini firasat nan aneh. Fikiran mustahil mulai mengakar di pikirinku bagai sebuah benih dan kecurigaan tumbuh darinya.
Ekspresi di mata Heathcliff, ketenangan yang ditunjukkannya, bukan mata yang menenangkan shabat-sahabatnya yang terluka. dia tak berdiri di tingkat yang sama dengan kami. Wajahnya tengah memberikan pengampunan dari sebuah tempat nan jauh di atas kami---ini wajah seorang dewa...
Kufikirkan mengenai kecepatan reaksi tak manusiawi yang Heathcliff tunjukkan saat duel kami. Ia jauh melebihi kecepatan manusia. Tidak, aku salah soal itu; ia jauh melebihi batas yang diset SAO untuk para pemainnya.
Tambahkan kelakuannya yang biasa di atas itu: Ia seorang pemimpin dari guild terkuat, namun dia tak pernah memberikan perintah apapun dan hanya menonton pemain lainnya mengurus segala hal. Mungkin itu bukan karena dia mempercayai bawahannya—mungkin dia menahan-nahan dirinya karena dia tahu hal-hal yang tak diketahui pemain-pemain biasa.
Dia adalah sebentuk makhluk yang tak terikat aturan-aturan permainan kematian ini. Tapi dia bukanlah seorang NPC. Tak mungkin sebuah program dapat membuat wajah yang begitu penuh ampunan.
Jika dia bukan NPC maupun pemain biasa, maka hanya ada satu kemungkinan tersisa. Tapi bagaimana caranya aku membuktikan ini? Tiada caranya untuk itu... tidak satupun.
Tidak, ada satu cara. Cara yang hanya bisa kucoba disini sekarang juga.
Aku melihat batang HP Heathcliff. Ia telah banyak berkurang dari pertarungan keras ini. Tapi ia belum jatuh ke setengahnya. Ia hanya sedikit, sedikit diambang daerah biru.
Tiada yang pernah melihat HP orang ini jatuh ke daerah kuning. Ia memiliki pertahanan luar biasa yang tak seorangpun dapat dibandingkan dengannya.
Saat dia bertarung denganku, wajahnya berubah saat HPnya mendekati titik tengah. Itu bukan rasa takut akan berubahnya HP-nya menjadi kuning.
Itu adalah—kemungkinan besar---
Aku perlahan mengeraskan genggaman pada pedang di tangan kananku. Aku menarik kaki kananku ke belakang dengan gerakan sekecil mungkin. Kubengkokkan pinggang kebelakang sedikit dan mengambil kuda-kuda rendah. Heathcliff tak menyadari apapun gerakanku. Pandangan hangatnya tengah diarahkan hanya pada anggota guildnya yang kelelahan.
Jika tebakanku salah, aku akan dilabeli kriminal dan akan dihukum tanpa ampun. Jika itu yang terjadi...maafkan aku...
Aku melirik Asuna yang duduk di sebelahku. Dia menengadahkan kepalanya di saat yang bersamaan dan mata kami bertemu.
“Kirito...?”
Sebuah wajah terkejut menggelayuti Asuna, yang mulutnya menganga namun tak bersuara. Tapi saat itu, kaki kananku sudah menendang tanah kebelakang.
ada sekitar 10 meter antara aku dan Hethcliff. Aku melesat menuju dia dengan kecepatan penuh dengan tubuhku hampir menyentuh tanah dan mencapainya seketika. Lalu aku memutar pedangku dan menusuk ke atas. Ini adalah jurus dasar pedang bertangan satu <<Tusukan Amarah>>. karena ini jurus lemah, ini seharusnya tak membunuh Heathcliff meski membuat hantaman kritis. Tapi jika tebakanku benar—
Pedang menusuk masuk dari kiri, meninggalkan seberkas cahaya biru nan terang. Heatcliff bereaksi dengan kecepatan yang mengejutkan dan ekspresi terkejut nampak di wajahnya. Dia langsung mengangkat tamengnya untuk menahan.
Tapi aku sudah melihatnya melakukan gerakan itu berulang kali selama pertarungan kami dan aku mengingatnya dnegan jelas. Pedangku larut menjadi seberkas cahaya, mengubah arah di tengah jalan, dan menggesek ujung tamengnya sebelum terus menusuk menuju dadanya.
Tapi tepat sebelum pedang menghantamnya, ia dihentikan tembok tak terlihat. Sebuah dentuman kuat menjalar melalui lenganku. Seberkas percikan cahaya ungu berkilat dan sebuah pesan dengan warna sama muncul---sebuah pesan sistem muncul diantara kami.
[Objek Abadi]. Ini bukan sebaris status yang dapat dimiliki makhluk lemah seperti kami, para pemain. Apa yang ditakutkan Heathcliff selama pertarungan itu pasti adalah tersingkapnya pengaman dewa ini pada semuanya.
“Kirito, apa yang kau---“
Asuna yang berteriak karena terkejut pada serangan tiba-tibaku dan berlari setelahku, tiba-tiba berhenti dan terpaku di tempat setelah melihat pesan itu. Aku, Heathcliff, Cline dan seluruh pemain lainnya di sekitar kami juga terpaku sempurna. Pesan sistem perlahan memudar dalam kebekuan ini.
Kurendahkan pedangku dan melompat ke belakang sedikit, memperlebar jarak antara aku dan Heathcliff. Asuna mengambil beberapa langkah ke depan dan berdiri di sebelahku.
“Keabadian yang dianugrahkan sistem---bagaimana ini mungkin---Pemimpin guild...?”
Heathcliff tak merespon bahkan setelah mendengar suara bingung Asuna. Dia hanya menatapku dengan wajah penuh amarah. Dengan kedua pedang di tanganku, aku membuka mulutku dan berkata:
“Inilah kebenaran dibalik legenda. HP-nya dilindungi sistem dan takkan jatuh ke dalam daerah kuning tak peduli apa yang terjadi padanya. Status keabadian---selain NPC, hanya admin sistem yang bisa memilikinya. Tapi permainan ini tak memiliki admin satupun, kecuali mungkin satu orang...”
Aku berhenti berbicara di titik ini dan menatap ke atas ke langit.
“...Aku selalu berfikir setelah kedatanganku di dunia ini...dimana sih dia melihat kami saat dia memanipulasi unia ini. Tapi aku lupa satu kebenaran sederhana, yang bahkan seorang anak kecilpun seharusnya tahu.”
Aku menatap lurus pada si paladin merah dan melanjutkan:
“<<Tiada yang lebih membosankan selain menonton orang lain memainkan permainan>>. Bukankah begitu?.....Kayaba Akihiko?”
Ada keheningan yang menyentak, seakan semuanya baru saja membeku.
Heatcliff tengah menatapku dengan wajah tanpa emosi. Pemain-pemain di sekitar kami tak bergerak bahkan satu ototpun. Tidak, lebih pas kalau dibilang mereka tak dapat bergerak.
Asuna mengambil satu langkah maju dari sisiku. matanya tak menagndung sedikitpun emosi, seakan mereka kehampaan tak berdasar. Dia membuka mulutnya sedikit dan berbiocara dengan suara kering dan lirih hampir tak terdengar.
“Pemimpin....apa ini....benar?”
Heathclff mengabaikan pertanyaannya. malahan dia membengkokkan kepalanya sedikit dan menanyaiku:
“..Untuk sekedar referensi, bisakah kau menceritakan padaku bagaimana kau bisa tahu?”
“...Kali pertama aku pikir sesuatu ga beres adalah saat pertarungan kita, karena kecepatanmu pada saat terakhir itu terlalu cepat, itu saja.”
“Seperti yang sudah kuduga. Itu adalah kesalahn paling besar dariku. Aku begitu kewalahan oleh kecepatanmu sehingga akhirnya menggunakan bantuan sistem melebihi batas normalnya.”
Begitu Heathcliff mengangguk, wajahnya akhirnya menyingkap ekspresi lainnya; bibirnya bergerak perlahan membentuk senyum pahit.
“Awalnya aku berharap mencapai lantai 95 sebelum ini diuangkap.”
Senyumnya berubah menjadi penuh kuasa sambil perlahan menyapu pandangannya ke para pemain. lalu, sang paladin merah berkata dengan percaya diri:
“---Ya. Aku adalah Kayaba Akihiko. Aku juga raja terakhir permainan ini yang menunggu kalian di lantai teratas.
“...Kau memeiliki selera yang aneh. tak terpikirkan bahwa pemain terkuat tiba-tiba jadi raja terakhir yang paling kuat.”
“Apa kau tak berfikir ini skenario yang menarik? Awalnya aku berfikir bahwa tersingkapnya ini akan memantik gelombang kejut ke seantero Aincrad, tapi tak pernah kupikir aku akan diketahui pada ¾ jalan permainan ini. Aku tahu kau adalah faktor yang paling tak bisa diprediksi dari permainan ini, tapi tak pernah membayangkan bahwa kau memiliki potensi semacam ini.”
Sebagai pencipta permainan ini yang telah memenjarakan pikiran 10 ribu pemain, Kayaba Akihiko tersenyum begitu berbeda dengan yang dimiliki Heathcilff sang Paladin. Tapi sosok tak tertandingi dan kokoh itu entah mengapa mirip dengan avatar tak beremosi yang turun pada kami dua tahun lalu.
Kayaba melanjutkan dengan senyum pahit:
“...Aku sudah mengira kaulah pemain yang akan menghadapiku di akhir. Dari 10 jurus unik, <<Bilah Ganda>> diberikan pada pemain dnegan kecepatan reaksi tertinggi, yang akan kemudian berperan sebagai pahlawan melawan raja terakhir, tak peduli dia menang atau kalah. Tapi kau telah menujukkan padaku kekuatan melebihi perkiraan, baik itu kecepatan maupun pandanganmu. Yah...Kupikir bahwa perkembangan yang tak diperkirakan sebelumnya adalah bagian dari esensi RPG online...”
Pada saat ini, salah satu pemain yang membeku bangkit perlahan. Dia salah seorang pemimpin KoB. Matanya yang tampak menyala berisi pederitaan tersiksa.
“Kau...kau...berani-beraninya kau mengambil kesetiaan---harapan kami...dan...dan...mengotori mereka shancur-hancurnya---!”
Dia mengangkat Halberd raksasanya ke udara dan meluncurkan dirinya dengan sebuah teriakan. Bahkan tak ada waktu untuk menghentikannya. Kami hanya bisa menonton begitu dia mengayunkan senjatanya ke bawah pada Kayaba—Tapi Kayaba selangkah lebih cepat. Dia mengayunkan tangan kirinya dan dengan cepat memanipulasi jendela yang muncul; Orang itu langsung berhenti di tengah udara dan jatuh ke tanah dengan suara keras. Sebuah garis batas hijau menyala di sekitar batang HP-nya, mengindikasikan paralisis. Tapi, Kayaba tak berhenti disitu dan terus menggerakkan tangannya.
“Ah...Kirito...!”

Aku berbalik dan melihat Asuna bertekuk di tanah. Bukan hanya dia, tapi seluruh pemain selain aku dan Kayaba juga tertunduk ke tanah, melenguh dari posisi yang tak biasa.
Setelah menyarngkan pedangku, aku berlutut untuk memegangi tubuh bagian atas Asuna dengan lenganku, dan menggenggam tangannya, Lalu aku balik menghadap kayaba.
“...Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan membunuh kami semua untuk menyembunykan kebenaran...?
“Tentu saja tidak. Aku takkan pernah melakukan hal-hal yang sangat tak beralasan semacam itu.”
Orang dalam merah tersebut tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Tapi karena keadaan telah mencapai titik ini, Aku tak punya pilihan lain. Akan memajukan jadwalku dan menunggu kedatanganmu di «Benteng Hijau Merah» di lantai atas, Adalah memalukan bahwa aku mesti keluar KoB, sebagaimana juga pemain lini depan lainnya, yang telah aku kembangkan dengan hati-hati untuk bertarung melawan mob-mob di lantai 90 keatas. Tapiaku percaya kalian semua seharusnya memiliki kekuatan yang cukup untuk mencapai lantai atas. Tapi...sebelum itu...”
Kayaba tiba-tiba berhenti berbicara dan menghadapkan matanya, yang penuh dengan kehendak yang meluap-luap, untuk terpusat padaku. Dia lalu menarik pedangnya dnegan lembu ke lantai obsidian, dan sebuah suara logam yang tajam nan jelas bergema di udara.
“Kirito, karena kau telah menyingkap identitasku yang sebenarnya, aku akan menghadaihimu sebuah kesempatan: Kau bisa bertarung satu lawan satu dengan ku, disini sekarang juga. Tentu saja aku akan menghilangkan status abadiku. Jika kau menang, permainan akan langsung selesai, dan seluruh pemain bisa keluar. Apa jawabmu...?
Begitu dia mendnegarnya, Asuna mulai menekan lenganku, mencoba sekerasnya untuk menggerakkan badannya yang lumpuh sambil menggelengkan kepalanya.
“jangan, Kirito...! Dia mencoba langsung menghabisimu...sekarang juga...Untuk sekarang kau harus mundur...!”
Instingku berkata itu jalan terbaik. Orang ini adalah admin yang bisa memainkan sistem. Meski dia bilang ini akan menjadi pertarungan yang adil, tiada jalan untuk mengetahui apakah dia entah bagaimana memanipulasi sistem atau tidak. Pilihan terbaik adalah mundur untuk sekarang dan mendatangkan sebuah rencana balasan bersama yang lainnya.
tapi...
Apa yang dikatakan orang itu> Bahwa dia membesarkan KoB? Bahwa kami pasti mencapai...?
“Benda yang penuh sampah...”
Tanpa sadar aku bergumam denagn suara nan kering.
Orang ini mengunci pikiran 10 ribu orang dalam dunia yang diciptakannya, dimana dia sudah membunuh 4 ribu dnegan gelombang elektromagnetik. Dia menonton para pemain berusaha dengan bodh dan kasihannya berdasarkan cerita yang disusun. Ini pasti pengalaman paling menyenangkan yang ada bagi seorang master permainan.
Aku memikirkan masa lalu Asuna, yang terbagi denganku di lantai 24. Aku mengingat airmata yang ditumpahkannya saat dia memelukku. Orang di depan mataku telah menciptakan dunia ini untuk kesenangannya sendiri dan menyakiti hati Asuna dalam jumlah tak terhitung, membuatnya berdarah hebat, tak mungkin bagiku mundur dari ini.
“baiklah. Ayo kita bereskan ini.”
Aku mengangguk pelan.
“Kirito...!”
Pada jeritan Asuna yang tertahan, aku menjatuhkan pandanganku pada sosok di lenganku. Nyeri menusuk hatiku sekana dadaku ditusuk sampai belakang, tapi entah bagaimana aku bisa memaksakan sebuah snyuman.
“Maaf. Tapi aku tak bisa...kabur sekarang...”
Asuna membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi lalu menyerah di tengah-tengah dan mencoba sebisanya untuk tersenyum.
Setetes airmata mengalir ke di pipinya.
“Kau tak berencana...mengorbankan dirimu, kan...?”
“Tentu saja...Aku pasti menang. Aku akan menang dan mengakhiri dunia ini.”
“OK. Aku akan percaya padamu.”
Bahkan jika aku kalah dan tewas, kau harus terus hidup---meski aku ingin mengatakan itu, tetap saja aku tak bisa mengeluarkannya. Aku hanya bisa memegangi tangan kanan Asuna dengan erat sebagai gantinya.
Setelah aku melepaskan tangannya, aku membaringkan tubuh Asuna ke bawah di lantai obsidian lalu bangkit berdiri. Aku perlahan menghampiri Kayaba yang tengah memandangi kami tanpa suara dan mengeluarkan kedua pedangku dengan suara tajam.
“Kirito! Hentikan---!”
“Kirito---!”
saat aku membalikkan kepala terhadap sumber suara, kulihat Cline dan Egil berteriak dan berusaha sekerasnya untuk bangkit. Aku pertama-tama memusatkan pandanganku pada Egil dan mengangguk perlahan padanya.
“Egil, terima kasih atas dukungannya pada pemain-pemain kelas petarung hingga saat ini. Aku tahu kau menghabiskan sebagian besar uang yang kau dapat untuk membantu pemain-pemain di lantai-lantai tengah.”
Aku tersenyum pada si raksasa yang matanya terbuka lebar sebelum menggeser pandanganku.
Si Petarung berkatana, dengan bandana sederhana dan pipi penuh janggut, gemetaran di lantai seakan dia masih berusaha mencari kata-kata untuk diutarakan.
Aku menatap lurus pada mata nan dalamnya dan mengambil napas dalam-dalam. Kali ini, tak peduli seberapa keras aku mencoba, aku tak bisa mengendalikan suaraku yang bergetar.
“Cline, waktu itu...Aku benar-benar menyesal....meninggalkanmu. Akus elalu menyesalinya.”
Begitu aku menyelesaikan baris pendek ini dengan suara parauku, sesuatu berkilar di sudut mata teman lamaku, dan airmata langsung mengaliri satu demi satu.
Dengan airmata yang masih memancar dari matanya, Cline menggeliat untuk bangkit sambil berteriak keras dengan suara parau yang hendak pecah:
“Sialan kau....! Kirito! Jangan meminta maaf! Jangan meminta maaf sekarang! Aku takkan memaafkanmu! Hingga kau mengundangku makan-makan di dunia nyata, aku pasti takkan memaafkanmu!!”
Aku mengangguk pada Cline, yang terus berteriak.
“Ya, aku janji. nanti aku akan mengunjungimu di dunia lain.”
Aku mengangkat tangan kananku dan memberinya jempol.
Akhirnya aku membalikkan pandanganku pada gadis yang membuatku mengatakan kata-kata yang telah terkubur dalam-dalam di hatiku selama dua tahun.
Aku memandangi wajah Asuna yang tersenyum dan dibanjiri airmata---
Aku menggumamkan permintaan maaf kepadanya dalam pikiranku dan membalikkan badan. Aku menghadapi Kayaba, yang masih memiliki wajah penuh kuasa mutlak, dan membuka mulutku:
“...Maaf soal ini, tapi aku punya satu hal untuk ditanyakan.”
“Apa itu/”
“Aku tak punya keinginan kalaj, tapi jika aku mati---bisakah kau mencegah Asuna bunuh diri, bahkan bila hanya untuk masa yang pendek?”
Kayaba mengangkat alis karena terkejut, tpi dengan tenang mengangguk pada permintaanku.
“Baiklah. Aku akan menyetnya sehingga dia takkan bisa meninggalkan salemburg.”
“Kirito, jangan!! kau tak, tak bisa melakukan ini---!!”
Asuna menjerit penuh airmata di belakangku. Tapi aku tak berbalik ke belakang. Aku menggeser kaki kananku mundur, kubawa pedang kiriku maju sambil merendahkan pedang kanan, dan selesai menyiapkan kuda-kudaku.
Kayaba memanipulasi jendela dengan tangan kirinya dan menyamakan batang HP kami pada tingkat yangsama. tingkat yang tepat sebelum zona merah, dimana satu pukulan yang kuat bisa menentukan pertarungan.
Setelah itu, pesan sistem [berubah jadi objek mortal] muncul di atas kepanya. Kayaba lalu menutup jendela-jendela, menarik keluar pedangnya yang dia tanam ke tanah, dan mengangkatnya di belakang tameng berbentuk salibnya.
Pikiranku sepenuhnya tenang dan jernih. Pikiran-pikiran semacam ‘maaf, Asuna’ menguap tak berbekas begitu aku menajamkan insting bertarung dalam diriku menjadi ujung pisau.
Jujur saja, aku tak tahu tentang kesempatan menangku. Jika kita hanya berbicara soal jurus-jurus pedang, maka dia tak lebih baik dariku berdasarkan pertarungan terakhir. Tapi itu hanya jika dia tak menggunakan ‘Bantuan lebih’. dimana hanya dia bisa bergerak sementara aku sepenuhnya beku di tempat.
Ini semua tergantung pada harga diri Kayaba. Berdasarkan kata-katanya, dia berencana mengalahkanku hanya dengan kekuatan «Pedang Suci». Jika itu benar, maka kesempatanku bertahan melalui ini adalah mengalahkannya sebelum dia menggunakan kemampuan khusus manapun.
Jarak antara aku dan Heathcliff menegang. Rasanya seakan udara itu sendiri yang bergetar di bawah tekanan kehendak membunuh yang kami pancarkan. Ini bukan lagi sebuah pertarungan, melainkan menyabung nyawa. Ya benar---Aku akan---
“Membunuhmu...!!”
Aku meluncur ke depan dengan teriakan tajam.
Kuayunkan pedang kanan mendatar begitu jarak mendekat. Kayaba dengan mudah menahannya dengan tamengnya. Ada sejumlah percikan dan wajah kami diterangi untuk sedetik.
Sepertinya suara benturan logam menandai dimulainya pertarungan kami; Senjata kami langsung mempercepat diri kedalam kecepatan yang mematahkan rem dan mengisi ruang diantara kami.
Pertarungan ini adalahyang teraneh, namun pertarungan paling manusiawi dari semua pertarungan yang kulalui hingga saat ini. Kami berdua sudah saling menunjukkan jurus-jurus kami. Terlebih lagi, inilah orang yang merancang «Bilah Ganda», sehingga dia dengan mudah membaca kombinasi jurus biasa. Itulah mengapa dia bisa menahan semua seranganku selama pertarungan terakhir kami.
Aku tak bisa mengandalkan kombinasi yang diberikan sistem; Aku harus mengandalkan kemampuan dan instingku sendiri untuk emntgayunkan pedangku. Tentu saja aku tak dapat menerima bantuan sistem dengan cara ini, tapi aku masih bisa menggerakkan lengaku dengan kecepatan tinggi dengan bantuan indraku yang makin peka. Aku bahkan bisa melihat bayangannya, dan tampak bagai ada lusinan pedang di tanganku. Tapi---kayaba menahan mereka semua dengan ketepatan yang mencengangkan. Dia juga langsung membalas begitu aku menunjukkan kelengahan sekecil apapun. Keadaan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berubah.. Aku berkonsentrasi pada mata Heathcliff sebagai usaha membaca bahkan sekeping pikiran dan reaksi musuh. Akhirnya kami saling bertukar pandang sebagai hasilnya.
Tapi Mata perunggu Kayaba---Heathcliff dingin dan sunyi. Tiada sesepora perasaan manusia yang ditunjukkannya kali terakhir.
Tiba-tiba sebuah rasa dingin mengaliri punggungku.
Lawanku adalah seseorang yang tanpa ampun membunuh sekitar 4.000 orang. Bisakah seorang manusia biasa melakukan hal semacam itu? Kematian 4.000, ktukan dari yang 4.000, dia bisa menanggung tekanan itu dan tetap tenang sempurna---Dia bukan seorang manusia, dia seekor monster.
“Aaaaaaah!”
Aku menjerit untuk menghapus kepingan kecil ketakutan yang muncul dari dasar pikiranku. AKu terus mempercepat gerakanku dan menghujaninya hantaman yang tak terhitung per detik. Tapi wajah Kayaba tak menunjukkan perubahan. Dia menahan seluruh seranganku dengan tameng salib dan pedang panjangnya dengan kecepatan yang tak dapat dilihat mata telanjang.
Apa dia hanya mempermainkanku---!?
Ketakutanku menjelma jadi ketegangan. Apa mungkin Kayaba hanya bertahan karena dia sebenarnya bisa menyerang balik kapanpun dia mau dan percaya diri bahwa dia bisa bertahan dari bahkan sebuah hantaman langsung dariku?
Kecurigaan mengambil alih pikiranku. Dia bahkan tak pernah memerlukan bantuan lebih dari awal.
“Sialan...!”
Tapi---bagaimana dengan ini---?!
Aku merubah pola serangku dan mengaktifkan «Sang Gerhana», jurus tingkat tertinggi Bilah Ganda.
Bagaikan ujung gerhana yang menelan, pedangku mengirimkan 27 serangan beruntun pada Kayaba—
Tapi---kayaba telah menungguku menggunakan jurus kombo yang dirancang sistem. Wajahnya memunculkan ekspresi untuk pertama kalinya sejak pertarungan dimulai. ekspresi yang sangat berlawanan dengan yang ditunjukkannya terakhir kali--- itu adalah senyum seseorang yang yakin atas kemenangan.
Aku menyadari kesalahanku begitu aku melancarkan serangan pembuka kombo ini. di saat-saat terakhir ini aku malah bergantung pada sistem, bukan pada diriku sendiri. Tapi sudah mustahil bagiku untuk menghentikan jurus, dan begitu serangan berhenti, aku akan berada pada keadaan diam sesaat. Terlebih lagi, Kayaba membaca seluruh pukulanku, dari awal kombo hingga serangan terakhir. Begitu aku melihat Kayaba mengayunkan tamengnya dengan kecepatan yang membutakan, menangkis pedang-pedangku dengan pengetahuan dimana tiap pukulan akan mendarat, aku bergumam dalam pikiranku:
Maaf—Asuna...setidaknya kau harus—terus hidup---
Serangan ke-27 mengenai bagain tengah tameng, memancarkan hujan percikan. Lalu, dengan diiringi jeritan berdentang logam, pedang di tangan kiriku pecah.
“Yah, ini adalah selamat tinggal---Kirito-kun.”
Kayaba mengangkat pedangnya tinggi-tinggi diatasku yang terbengong-bengong. Sebuah sinar merah gelap terpancar dari pedang. Pedang merah darah itu diayunkan ke bawah padaku---
Di saat itu, sebuah suara kuat dan bergetar bergema dalam kepalaku.
Aku—akan melindungi---Kirito!!
Bayangan seseorang masuk diantara pedang merah Kayaba dan aku denga kecepatan yang mengejutkan. Rambut panjang dan coklat chestnut menari di angin di depan mataku.
Asuna---bagaimana bisa---!?
Dia berdiri di depanku meski seharusnya dia tak bisa bergerak karena lumpuh. Dia dnegan berani membusungkan dadanya dan membentangkan lengannya lebar-lebar.
Sebuah ekspresi terkejut mampir di wajah Kayaba. Tapi tiada yang bisa menghentikan serangannya sekarang. Semuanya bergerak seakan dalam gerak diperlambat begitu pedang panjang itu membelah jalannya ke bawah, melalui bahu Asuna dan terus hingga ke dada sebelum akhirnya berhenti.
Aku mengulurkan kedua tanganku pada Asuna begitu dia jatuh kebelakang padaku. dia terlentang dalam lenganku tanpa suara.
Begitu pandangannya bertemu denganku, Asuna tersenyum lemah. Batang HP-nya---habis.
Waktu berhenti.
Matahari yang terbenam. Padangnya. Angin sepoi-sepoinya. Cuaca yang agak dingin.
Kami berdua tengah duduk di sepuncak bukit dan melihat ke bawah ke danau yang berkilauan dengan warna merah keemasan dari matahari yang terbenam.
Suara daun-daun bergesekan. Suara burung-burung yang kembali ke sarangnya,
Dengan lembut, Dia memegangi tanganku, lalu menyenderkan kepalanya pada bahuku.
Awan-awan berlalu. Lalu bintang-bintang mulai bermunculan satu demi satu, berkemilau di langit petang.
Kami saling bertatapan dengan dunia yang terus merubah warnanya sedikit demi sedikit.
“AKu agak lelah. Bisakah aku beristirahat di pangkuanmu sebentar?”
Aku menjawab dengan sebentuk senyuman.
“Ya, tentu saja. Beristirahatlah dengan tenang---“
Asuna di tanganku sekarang tersenyum tepat seperti waktu itu, matanya berisi dengan cinta tak terbatas. Tapi berat dan kehangatan waktu itu sudah habis menghilang.
Sedikit demi sedikit, tubuh Asuna dengan perlahan ditelan seberkas cahaya emas. Sinar-sinar kecil cahaya mulai runtuh dan menjauh.
“Ini sebuah candaan kan....Asuna...ini...ini adalah...”
Aku bergumam dengan suara penuh getaran. Tapi cahaya yang tak berperasaan semakin terang dan semakin terang lalu---Setetes airmata mengalir dari mata Asuna, yang bersinar sesaat sebelum menghilang. Bibirnya bergerak sedikit, perlahan, seakan dia memaksakan suara terakhirnya keluar darinya.
M a a f
K a u m e l a k u k a n y a n g t e r b a i k
Tubuhnya mulai melayang---
Cahaya yang membutakan meledak dalam tanganku, berubah wujud menjadi berjuta-juta bulu-bulu yang melayang di udara.
Dan tiada bekas tubuhnya sedikitpun.
Aku menjerit dalam sunyi dan berusaha sekeras-kerasnya untuk mengumpulkan cahaya-cahaya yang terpencar kembali ke tanganku. Tapi bulu-bulu emas terbang ke udara seakan ditiup angin, dimana mereka berpencar dan menghilang. Denagn begitu saja, dia telah berpulang.
Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya terjadi. Ini tak mungkin terjadi. Ini seharusnya tidak. Seharusnya---. Aku berlutut di tanah seakan aku hendak runtuh, begitu bulu terakhir melayang turun ke telapak kananku lalu menghilang.
Kayaba mengelus bibirnya dan membentangkan lengannya lebar-lebar.
“Ini benar-benar mengejutkan. Bukankah ini bagaikan skenario RPG perorangan? Seharusnya mustahil baginya untuk membebaskan dari kelumpuhan...jadi hal seperti ini benar-benar bisa terjadi...”
Tapi suaranya bahkan tak terekam dalam pikiranku. Rasanya seakans emua perasaanku terbakar habis, seakan aku terjatuh kedalam jurang tak berdasar, ditelan keputusasaan.
Tiada alasan bagiku untuk melakukan apa-apa lagi.
Entah itu bertarung dalam dunia ini, kembali ke dunia nyata, atau bahkan terus menjalani hidup, semuanya telah kehilangan makna. Seharusnya dulu aku bunuh diri saat ketidakmampuanku dan kelemahanku mengakibatkan kematian teman-teman seguild. Jika aku melakukannya, maka aku takkan pernah bertemu Asuna, maupun melakukan kesalahan yang sama lagi.
Mencegah Asuna bunuh diri—Betapa bodoh dan cerobohnya perkataan itu. Aku tak mengerti apapun sama-sekali. Dengan begitu saja---dengan hatiku yang penuh kehampaan, bagaimana mungkin aku bisa terus hidup...
Aku menatap rapier Asuna dnegan hampa, sinarnya masih terpancar meski terbaring di tanah. Aku mencapainya dengan tangan kiriku dan menggenggamnya.
AKu berusaha mencari sebekas keberadaan Asuna di senjata tipis dan gesit itu, tapi tidak ada apa-apa. Tiada yang tertinggal di permukaan menyilaukan tak berwajah yang bisa jadi tanda keberadaan pemiliknya. Dengan pedangku di tangan kanan dan pedang Asuna di tangan kiri, aku perlahan bangkit. Tiada yang aku pedulikan lagi. Aku hanya ingin pergi mencarinya berbekal kenangan waktu singkat yang kami bagi bersama.
Kupikir aku mendengar seseorang memanggil dari belakang.
Tapi aku tak berhenti dan terus berjalan menuju Kayaba dengan pedang kananku terangkat. Aku mengambil beberapa langkah gontai mendekatinya dan menusuk dnegan pednagku.
Kayaba menatap kasihan pada gerakanku, yang tak dapat dibilang sebuah jururs maupun serangan---dia dengan mudahnya menangkis pedangku dengan tamengnya dan menerbangkannya, dan pedang panjang di tangan kanannnya menusuk, menerobos dadaku.
Aku menatap tanpa rasa pada batang logam yang berkilau, yang terkubur dalam di tubuhku sendiri. Pikiranku tak lagi memikirkan apa-apa. Yang tersisa hanyalah kesadaran hampa bahwa segalanya telah berakhir.
Dari ujung pandnaganku, aku bisa melihat batang HP-ku berkurang perlahan. Aku tak tahu apakah ini kelanjutan dari rasaku yang semakin tajam karena pertarungan, tapi rasanya aku bisa melihat tiap titik menghilang. Aku memejamkan mata, berharap gambar senyum Asuna dapat mengemuka begitu pikiranku semakin kosong.
Tapi meski aku menutup mataku, batang HP tetap tak menghilang. Ia berkedip merah dan mengecil dengan laju tak berperikemanusiaan. aku merasa seakan tuhan bernama sistem ini, yang telah menoleransi keberadaanku hingga saat ini, tengah menantikan saat terakhir ini. Hanya 10 titik untuk dihabiskan, sekarang lima titik, sekarang---
lalu, tiba-tiba aku merasakan sebuah kemarahan yang tak pernah kualami sebelumnya.
Adalah si keparat ini yang telah membunuh Asuna. Kayba sang pencipta hanyalah sebagian darinya. Yang merobek-robek tubuh Asuna dan menghancurkan rohnya, adalah keberadaan yang mengelilingiku sekarang ini---keinginan sistem itu sendiri, Tuhan kematian digital yang mengejek kebodohan pemain-pemain dan mengayunkan sabitnya tanpa ampun---
Kita ini sebenarnya apa? Apa kami cuma sekumpulan boneka tolol yang dikendalikan benang-benang yang takkan terputus dari sistem SAO?
Batang HP-ku menghilang sempurna seakan mengejek kemarahanku. Sebuah pesan ungu muncul dalam sudut pandangku: [Kau wafat]. Itu perintah dari Tuhan untuk mati.
Sbeuah rasa dingin beres merasuki tubuhku. Indraku mati rasa. Aku merasakan blok kode yang tak terhitung di buka, memutus, dan menghancurkan sekujur tubuhku. Rasa dingin ini naik ke leherku dan kedalam kepalaku. Sentuhan, suara, pandangan, semuanya jadi kabur. Sekujur tubuhku mulai melarut---menjadi kepingan-kepingan poligon---sebelum memencar ke segala arah---
Kau pikir aku akan biarkan itu terjadi?
Aku membuka mataku lebar-lebar. Aku bisa melihat. Aku masih bisa melihat. Aku masih bisa melihat wajah Kayaba, yang pedangnya menerobos dalam ke dadaku, dan wajah terkejut pdanya.
Mungkin indraku yang menajam kembali, dan kematian avatarku, yang biasanya terjadi dalam sesaat, terasa bagaik melambat. Garis luar tubuhku masih kabur, dan partikel-partikel cahaya masih tercewrabut dan menghilang disini dan disana. Tapi aku masih ada. Aku masih hidup.
“Hiiiiyaaaa!”
Aku menjerit sekuat tenaga. Aku menjerit dan melawan. Melawan sistem, sang tuhan nan mutlak. Hanya untuk menyelamatkanku, Asuna yang pemalu dan manja telah melepaskan kelumpuhan tak tersembuhkan dengan kekuatan keinginannya dan melemparkan dirinya pada serangan yang mustahil ditahan. Bagaimana aku bisa jatuh sekarang tanpa melakukan apa-apa. Aku tak bisa jatuh sekarang, tidak boleh. bahkan bila aku tak bisa menghindari kematian---Aku harus---setidaknya---
Aku mengeraskan genggaman tangan kiriku. Aku mengambil kembali indraku seakan menarik mereka kembali dengan seutas benang. Rasa memegang sesuatu di tangan kiriku kembali. Rapier Asuna---aku bisa merasakan semangat yang dimilikinya. Aku bisa mendengar dia bilang padaku agar aku tabah.
Perlahan, Lengan kiriku mulai bergerak. Bentuknya tengah mengabur dan beberapa kepingannya terlepas dengan gerakan sekecil apapun. Tapi ia tak berhenti. Sedikit demi sedikit, ia memakan jiwaku untuk terangkat. Mungkin inilah hargaku dari perlawananku yang keras kepala. karena nyeri tak terperi menjalari tubuhku. Tapi aku mengeraskan gigitan dan terus bergerak. jarak yang hanya 10 cm terasa begitu jauh. Tubuhku terasa seakan dibekukan. Hanya lengan kiriku yang masih memiliki rasa, namun rasa dingin dnegan cepat menyelimutinya juga. Sekujur tubuhku sudah bagai patung es denagn kepingan-kepingannya yang terus lepas.
Tapi pada akhirnya, rapier perak itu mencapat pusat dada Kayaba. Kayaba tak bergerak. wajah terkejutnya sudah menghilang---sebuah senyum lembut dan damai menggantikan tempatnya. Lenganku menolkan jarak yang tersisa, setengah oleh semangat, dan setengah digerakkan oleh kekuatan tak terjelaskan. kayaba menutup matanya dan menerima hantaman itu bersamaan dengan menerobosnya rapier ke tubuhnya tanpa suara. Batang HP-nya juga mengilang.
Untuk sesaat, kami hanya berdiri disana, dengan pedang yang menusuk tubuh satu sama lain. AKu menggunakan kekuatan yang tersisa untuk memaksa kepalaku menengadah dan melihat ke langit.
Apa ini---cukup....?
Meski aku tak bisa mendengar jawabannya. Aku bisa merasakan sedikit kehangatan menyelumuti tangan kiriku. Akhirnya aku melepas tubuhku, yang hendak pecah-terpencar sepenuhnya.
Begitu pikiranku tenggelam lebih dalam kedalam kegelapan, aku bisa merasakan tubuhku dan tubuh Kayaba pecah menjadi ribuan kepingan di saat bersamaan. Suara biasa dari dua benda yang dihancurkan bergema dan saling bergaung. Begitu semuanya semakin dan semakin tertarik dalam laju yang luar biasa, Aku bisa mendengar suara-suara lemah yang memanggil namaku. Aku pikir iru pasti suara Cline dan Egil. Lalu, pada saat ini, suara tak berperasaan dari sistem mengumumkan---
Permainan telah diselesaikan--- Permainan telah diselesaikan--- Permainan.....

Widget edited by super-bee
powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme